Perjalanan de javu dan nolstagia dari seorang anak marxis “ aku bukan marxis, aku adalah anak kebudayaan massa”.

Zanuarifki T.R

Dari sekarang sampai 10 tahun mendatang, generasi paling sukses dan beruntung ini akan menuju pensiun.
Aku Gitanyali. Ayahku komunis. Di depan rumah terpancang papan besar bertuliskan “Comite Seksi Partai Komunis Indonesia”. Sebagai anak seorang komunis sudah hal yang biasa untuk termarginal atau dimarginalkan, yang nasibnya sama dengan anak-anak seseorang yang menganut idealisme kiri lainnya. Mereka dianggap sebagai kotoran sejarah yang harus dibuang sampai ke akar rumput. Tak peduli tua, muda, kecil maupun dewasa. Hidup mereka tak akan direstui sampai akhir zaman. Sebuah kesalahan yang tak pernah dilakukan oleh seorang anak komunis, namun mereka terkena imbas dari politik dewa-dewa besar. Gitanyali di sini menuliskan pada buku “Blues Merbabu dan 65” tentang kehidupannya pasca 65 ataupun setelahnya.



Menjalani hidup dengan kekuatan sendiri, hidup dengan bebas “hidup ini rock n roll”. “Sudah pernah kukatakan kepada Nita yang dulu mewawancaraiku untuk penerbitan majalah independen yang diterbitkannya bersama teman-temannya, agak sulit bagiku menceritakan secara spesifik nasib diri sebagai anak PKI”, itu adalah awal tulisan Gitanyali yang biasa dipanggil Gita oleh teman-temannya dalam buku 65.
“Sebenarnya aku khawatir, jangan-jangan aku cuma gelandangan kebudayaan, yang setelah keluarga kocar-kacir karena peristiwa tahun 1965, mencoba mencari-cari sendiri format hidup yang pas. Secara biologis aku anak Sutanto Singhayuda, tetapi secara kebudayaan aku produk kebijaksanaan politik massa mengambang, sekaligus anak kebudayaan massa. Fokusku terpecah-pecah. Politics no! It’s only rock ‘n’ roll”.
Gitanyali suka sekali dengan film, sampai sewaktu bekerja sama dengan pak Condro (Condro Adisuryo) dibidang distribusi film, Gita menggelutinya dengan penuh semangat. Dalam pekerjaan memang sering kurang serius dan paling tidak suka oleh perkerjaan yang terikat. Gita pernah ke Hongkong mengikuti emma (teman yang dia kenal dari pak Condro) untuk sekedar jalan-jalan menemani. Emma mempunyai galeri kecil di kawasan Silom Village Bangkok yang bernama Emmaretta Contemporary, yang membawa Gita ke mistik 65. Dunia baru yang penuh cinta dan harapan yang lebar.
Kehidupanya tak jauh dari sexs. Salah satu teman tidurnya adalah Tante Rosa. Tante Rosa yang biasa Gita panggil dengan Zus Rosa tinggal di kota yang sama dengan Gita. Di setiap pertemuan selalu memanfaatkan waktu untuk melakukan persetubuhan itu. Sewaktu liburan, ketika Gita mengunujungi kotanya untuk bertemu dengan Zus Rosa dengan rencana sebelumnya, berjalan-jalan ke Candi Gedongsongo, melihat perkebunan mawar dan sebagainya. Namun semua itu tidak dilakukan sesuai rencana oleh Gita, melainkan mereka berdua melulu dikamar. Di luar aktivitas tempat tidur yang sempat mereka lakukan duduk berhimpitan di luar balkon kamar, telanjang berselimut sprei, memandang kerlap-kerlip lampu malam. Pagi berikutnya Gita langsung pergi ke Semarang diantar oleh Zus Rosa—dia sempat menghitung-hitung, beberapa kali mereka gituan sedari masuk hotel dan menyebut jumlah yang di anggapnya “fantastis”.
Gita memang mempunyai paras yang menawan bagi para gadis dan mempunyai jurus jitu untuk melumpuhkan wanita, maka tak heran banyak wanita yang terpikat kepadanya. Kenalan wanita Gita yang bernama Christine pada waktu meneruskan pendidikan di Glasgow, Inggris—juga tak lepas dari incaran seorang penulis ini. Berdansa dengan Christine merupakan suatu momen yang membuatnya betah di Inggris. Pada sebuah ketika Christine dan Gita seusai dinner “aku mengantarnya ke tempat parkir mobil di dekat Sauchiehall. Di tempat parkir—dilanjutkan di dalam mobil sebelum dia cabut—kami berciuman, tak jadi ia menggerakan mobil. Kami ciuman dan ciuman lagi. Kuraba susunya. “Next time…,” bisiknya. Ia tahu aku telah ngebet”.
***
Setelah peristiwa 65 yang membuatnya menjadi warga kasta paria, tidak boleh menjadi apapun yang terkait dengan pengadian kepada negara dan bangsa, tak peduli secerdas apa kepalanya dan secekatan apa orang tersebut. Dapat dibayangkan semenderita apa mereka menjalani hidup seperti ini. Padahal mereka sama sekali tidak mengetahui tentang pergolakan politik pada waktu itu. Sejarah tersebut memang sudah terlewat cukup lama, namun rahasia-rahasia peristiwa tersebut belum juga banyak terbongkar siapa yang menjadi dalang genosida pada waktu itu.
Tidak hanya melihat dari orang-orang yang mejadi korban, sejarah pun juga dapat dikatakan menjadi korban pula karena banyak manipulasi-manipulasi didalamnya. Menghilangkan sejarah orang-orang yang beraliran kiri. Banyak tokoh-tokoh besar yang beraliran kiri pada semasa hidupnya mengabdi kepada bangsa dan Negara namun setelah peristiwa 65 namanya menjadi seram, tak di muat dalam sejarah, dan paling benar untuk diludahi. Di modern ini memang seharusnya Negara mendewasakan proses perkembangannya dengan tidak melihat rakyatnya dengan latar belakang, tidak membodohi dengan sistem yang hanya menguntungkan orang-orang tertentu. Dan tidak menindas rakyat, karena semua manusia derajatnya sama dimata Tuhan YME.
Perjalanan de javu dan nolstagia dari seorang anak marxis “ aku bukan marxis, aku adalah anak kebudayaan massa”. Perjalanan de javu dan nolstagia dari seorang anak marxis “ aku bukan marxis, aku adalah anak kebudayaan massa”. Reviewed by Pandai Cendekia on 4:59 PM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.