Ahmad Ikhwan Susilo
Banyak pakar sastra Indonesia yang berpendapat bahwa lahirnya sastra
Indonesia dimulai pada tahun 1920. Hal ini ditandai dengan munculnya angkatan
Balai Pustaka. Argumen mereka tentang lahirnya sastra di Indonesia cukup
beragam dan selintas tampak mantap. Akibatnya, dominasi wacana ini berpengaruh
kuat dalam proses pengajaran sejarah sastra Indonesia ditingkatan akademis atau
sekolah-sekolah tentang lahirnya sastra Indonesia. Banyak yang terhegemoni dan
akhirnya meyakini bahwa lahirnya sastra Indonesia dimulai pada tahun 1920. Namun, ada satu pertanyaan besar, benarkah
sastra Indonesia lahir pada tahun 1920? Sampai sekarang belum ada jawaban yang memuaskan dari pertanyaan ini.
Sebagai bahan presentasi mata kuliah sejarah sastra, makalah ini berupaya
memaparkan ulang apa yang dilakukan oleh para pakar sastra Indonesia dalam
upaya merekonstruksi sejarah sastra di Indonesia.
Pada tahun 1999 dalam artikelnya, Ibnu Wahyudi, seorang pengajar sastra
Universitas Indonesia, mengatakan bahwa awal keberadaan sastra Indonesia modern
dimulai pada 1870-an, yang ditandai dengan terbitnya puisi “Sair Kedatangan Sri
Maharaja Siam di Betawi” yang sekarang diterbitkan kembali dalam Kesastraan
Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia (Jakarta: KPG, 2000).
Pada tahun 2002, redaksi majalah sastra Horison yang dipimpin Taufiq
Ismail menerbitkan buku Horison Sastra Indonesia (empat jilid) yang di
dalamnya menyebutkan awal mula penulisan puisi Indonesia dipelopori Hamzah
Fansuri sekitar abad ke-17. Namun, Taufiq Ismail masih menyebut Hamzah Fansuri
sebagai pionir sastra daerah, dalam hal ini Aceh. Ia tidak dengan tegas
menyatakan bahwa Hamzah Fansuri adalah sastrawan Indonesia.
Ketika Sutan Takdir Alisjahbana (STA) menyarankan untuk memutuskan sejarah
kebudayaan prae-Indonesia (masa sebelum akhir abad ke-19) dengan kebudayaan
Indonesia (awal abad ke-20 hingga kini), serta merta menghasilkan mata rantai
sejarah yang terputus. Seolah-olah kebudayaan Indonesia baru lahir mulai 1900
sekaligus menafikan perjalanan sejarah bangsa yang telah berjalan ribuan tahun.
Lompatan besar yang dilakukan STA itu sejalan dengan politik etis yang tengah
dilakukan kolonial Belanda.
Jika kita masih berpegang pada pendapat bahwa kelahiran sastra Indonesia
dimulai pada 1920, kita masih setia pada sejarah yang terpotong itu. Kalau
merujuk politik etis kolonial Belanda yang membentuk Commissie voor de
Indlandsche School en Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan
Bacaan Rakyat) pada 1908, dan selanjutnya pada 1917 mendirikan Kantoor voor
de Volkslectuur (Kantor Bacaan Rakyat) yang diberi nama Balai Pustaka,
kelahiran sastra Indonesia—dengan demikian—merupakan produk politik etis
kolonial Belanda itu. Padahal, pengaruh Barat semacam itu hanyalah babakan
kecil dari pengaruh luar yang masuk ke Indonesia. Dengan kata lain, keterpengaruhan itu hanya bagian
kecil dari ke-Indonesia-an kita. Hal serupa juga
dilakukan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Tempo Doeloe: Antologi
Sastra Pra-Indonesia. Terbitnya buku ini merupakan pengakuan terhadap
eksistensi sastra Indonesia yang menggunakan bahasa Melayu pasar. Pram pun
telah berjasa karena telah menjalin kembali mata rantai sejarah sastra (dan
juga kebudayaan) yang terputus akibat pemikiran STA.
Hasil penelusuran semacam ini sekaligus memperlihatkan sebuah babak yang
unik dalam sejarah sastra Indonesia bahwa politik etis kolonial Belanda yang
diskriminatif, terlebih di dunia pendidikan, menghasilkan produk yang tidak
adil bagi bangsa pribumi. Akibatnya, hanya mereka yang boleh mengecap
pendidikan “Barat” yang memiliki kemampuan berproduksi, yakni kaum peranakan
dan golongan ningrat.
Karena itu, hanya kaum terpelajar seperti F.D.J. Pangemanann, sastrawan
Minahasa yang juga pemimpin redaksi koran berbahasa Melayu, Djawa Tengah
(1913-1938) dan bangsawan Jawa Noto Soeroto yang menghasilkan karya sastra pada
masa maraknya sastra berbahasa Melayu pasar. Noto Soeroto sendiri menulis dalam
bahasa Belanda, di antaranya Melatiknoppen (‘Kuntum-kuntum Melati’) pada
1915 dan Wayang-liederan (‘Dendang Wayang’) pada 1931, yang menurut Dick
Hartoko berisi potret diri Noto Soeroto yang hidup dalam kemiskinan dan
teralienasi dari masyarakatnya karena memilih sikap kooperatif dengan kolonial
Belanda saat itu.
Sementara itu, karya Taufiq Ismail dkk., Horison Sastra Indonesia,
memiliki arti sekaligus pesan penting bagi pembacanya untuk tidak melupakan
karya sastra Indonesia “klasik” yang telah ditulis oleh pujangga-pujangga zaman
dulu, seperti Hamzah Fansuri, Ronggowarsito, Raja Ali Haji, Chik Pantee Kulu,
Haji Hasan Mustapa, Tan Teng Kie, bahkan karya besar dari Bugis, I La Galigo.
Apa yang dilakukan STA dalam memutuskan sejarah kebudayaan prae-Indonesia
(masa sebelum akhir abad ke-19) dengan kebudayaan Indonesia (awal abad ke-20
hingga kini) sama halnya mengaburkan jati diri bangsa Indonesia. Itu sebabnya
Sanusi Pane memperlihatkan padangannya yang khas Indonesia. Ia tidak silau
dengan pengaruh Barat yang masuk ke Indonesia dan tidak mabuk dengan kebudayaan
bangsanya sendiri.
Dalam pandangan Poerbatjaraka, sejarah hari ini adalah kelanjutan dari
sejarah masa lalu dan tidak terpotong begitu saja. Ia pun menegaskan bahwa
sejatinya yang harus dilakukan adalah menyeleksi kebudayaan Indonesia yang
purba dan pengaruh kebudayaan Barat untuk diformulakan menjadi kebudayaan
Indonesia baru. Dalam bahasa Sanusi Pane, sebaiknya kebudayaan Indonesia
mengawinkan Faust (Barat) dengan Arjuna (Timur).
Apa yang dilakukan oleh Ibnu Wahyudi, Pram, dan Taufik Ismail di atas
memberi sumbangan yang sangat berarti bagi pelurusan sejarah sastra Indonesia.
Hal ini berupaya untuk meluruskan kembali sejarah sastra Indonesia yang
sekarang diajarkan di sekolah-sekolah. Pelurusan sejarah ini penting karena berkaitan langsung dengan kesadaran
kita mengenai bangsa dan negara Indonesia.
”Jangan pernah sekalipun melupakan sejarah...” (Soekarno)
***
Sastra Balai Pustaka dan Sejarah yang Terpotong
Reviewed by Pandai Cendekia
on
4:40 PM
Rating:

No comments: