Mengapa Sastra Indonesia Kurang Mendunia?

OLEH FAKHRUNNAS MA JABBAR

                Setiap mengunjungi sebuah Negara, pastilah saya menyempatkan diri singgah di perpustakaan atau toko buku. Kunjungan di perpustakaan biasanya lebih terbatas karena lokasi dan jam bukanya tidak sebebas toko buku. Ada beberapa toko buku bertaraf internasional dengan jaringan distribusi hamper mencakup semua Negara. Sebutlah: Kinokuniya, Periplus, dan sebagainya. Di era komunikasi supercepat ini, mengunjungi toko-toko buku online juga dapat membantu menemukan buku-buku yang dicari. Tak terkecuali buku-buku sastra Indonesia yang masuk ke jaringan distribusi lintas Negara.



                Tentu saja perjalanan dan perburuan saya akan buku-buku sastra Indonesia masih terbatas di sejumlah Negara Asia, seperti Filipina, Korea Selatan, Singapura, Malaysia, Brunei, Thailand, dan Hongkong, sedangkan surfing melalui mesin pencari di internet tentu tak ada batasanya. Saat mencari buku di rak bertajuk Asia atau Asia Tenggara (Southeast Asia), memang saya menemukan sejumlah buku karangan sastrawan atau penulis Indonesia dalam jumlah yang terbatas. Merasa buku yang dipajang kurang lengkap, saya coba mencari judul atau nama buku karya sastrawan Indonesia yang sempat populer dalam rentang waktu satu atau dua dasawarsa terakhir. Memang sedikit ada buku berbahasa Inggris yang diterjemahkan dari buku asli berbahasa Indonesia, di antaranya buku karangan Pramoedya Ananta Toer (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Bukan Pasar Malam), Hamka (Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van der Wijk), Memoar Emka (Jakarta Undercover), Ahmad Tohari (Ronggeng Dukuh Paruk), WS Rendra (Arjuna In Meditation), dan Dewi Anggraeni (The Short Story of Asia-Pasific).
                Masih merasa kurang puas dengan pencarian begitu, saya sempatkan bertanya kepada petugas di counter yang berkaitan dengan Indonesia. Namun, jawaban yang didapatkan adalah bahwa buku-buku yang ditulis pengarang Indonesia sangar sedikit dibandingkan dengan buku-buku dari Negara kawasan yang sama. Pasalnya, di rak Asia itu lebih dominan ditemukan buku sastra dari Korea Selatan, Jepang, India (seperti Anita Desai, NK Narayana), Timur Tengah (Naguib Mahfouz), Singapura (Catherine Lim, Amy Tan), dan sejumlah nama lain. Tentulah “perburuan” yang saya lakukan belum dapat mempresentasikan situasi sesungguhnya. Saya yakin dan percaya, orang lain yang memiliki kegemaran sama dapat menemukan buku-buku sastra Indonesia dalam jumlah yang lebih banyak dan lengkap.
                Apabila dibaca biodata sejumlah pengarang Indonesia yang menerbitkan buku dengan meraih katagori Best Seller di Indonesia biasanya diikuti oleh penerbitan kedalam bahasa asing, seperti Inggris, Perancis, dan Jerman. Sebutlah nama-nama pengarang senior yang lebih awal berkiprah dan karya-karyanya berbicara di jaringan dunia, seperti Goenawan Muhamad, Jakob Oetama, Taufiq Ismail, Putu Wijaya, Arswendo Atmowiloto, Budi Darma, dan Sutardi Calzoum Bachri. Begitu pula para pengarang yang lebih muda dan karya-karya mereka dinilai cukup fenomenal: Andrea Hirata (Laskar Pelangi dan lain-lain), Habiburrahman el Shirazy (Ayat-ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, dan lain-lain), Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, dan sejumlah nama lain.
                Langkah awal menjadikan karya sastra Indonesia dapat melesat ke jaringan dunia haruslah diawali melalui upaya nyata menerjemahkan ke dalam bahasa asing yang sudah menjadi bahasa pergaulan dunia. Upaya ini memang sudah dilakukan oleh sejumlah Institusi Tanah Air dalam jumlah yang sangat terbatas, seperti yayasan Lontar yang dimotori oleh John McGlynn dan kawan-kawan. Kini, yayasan tersebut sedang mempersiapkan penerjemahan karya sastra Indonesia ke dalam bahasa Jerman untuk diikutsertakan dalam Festival Buku Internasional Frankfurt (Jerman) yang digelar tahun depan. Peran yang cukup nyata selama ini telah dilakukan pula oleh Pusat Pengkajian Sastra Indonesia atau Asia Tenggara yang bernaung di bawah institusi pemerintah atau perguruan tinggi terkemuka di sejumlah Negara, seperti Inggris, Perancis, Jepang, Jerman, Korea Selatan, dan Belanda. Sejumlah nama yang berperan cukup aktif diantaranya Berthold Damshauser, Van der Wall, Katrin Brandel, dan Harry Aveling. Bahkan, di kampus-kampus ternama berkelas dunia itu dibuka pula jurusan Sastra dan Bahasa Indonesia dengan jumlah peminat yang sedikit. Sejumlah sastrawan atau pengarang Indonesia sejak dulu secara bergiliran diundang menjadi dosen tamu yang mengajarkan materi bahasan dan sastra Indonesia. Sebut pula sejumlah nama diantaranya Ajip Rosidi, WS Rendra, Suryadi, Maman S Mahayana, dan Budi Darma.
                Program kerja sama penulis karya kreatif atau penganugrahan sastra berkelas internasional atau kawasan regional sangat membantu pengenalan karya sastra Indonesia agar bias mendunia. Sejak lama sudah ada The Iowa Writing Programme,  SEA Writer Award, The Ubud Writers Festival, dan sejumlah program lain.
Puncak Kehebatan
                Puncak kehebatan sastra Indonesia itu akan tercapai jika suatu ketika ada pangarang Indonesia yang meraih anugrah sastra tertinggi di dunia, yakni Nobel Sastra. Masih beruntung, Indonesia yang diwakili oleh Sastrawan Pramoedya Ananta Toer beberapa kali menjadi salah satu nomine. Hal ini dimungkinkan ketika sejumlah buku Pram pernah dilarang terbit dan beredar di Indonesia oleh keputusan rezim berkuasa di zaman pemerintahan otoriter Soeharto. Antusiasme dunia untuk membaca jerit, tangis, dan rintihan yang ditulis Pram melalui novel atau roman itu diperlihatkan dengan adanya para pembaca dan pemerhati dunia yang “menyelundupkan” naskah-naskah buku-buku Pram ke luar negeri untuk diterjemahkan dalam sejumlah bahasa.
                Padahal, keunggulan karya sastra Indonesia yang berangkat dari kearifan local (local wisdom), kekayaan khazanah sastra daerah, konflik vertikal dan horizontal, romantisme sejarah atau tipikal sastra perlawanan yang khas tak kalah seru dibandingan dengan Negara-negara lain. Sejumlah Negara yang memiliki kemiripan dengan situasi Indonesia tetapi sejumlah pengarangnya berhasil meraih Nobel Sastra lebih disebabkan penerjemahan karya sastra ke dalam berbagai bahasa penting di dunia. Setidak-tidaknya hal ini sudah dirasakan oleh China serta sejumlah Negara di Afrika dan Timur Tengah.

FAKHRUNNAS MA JABBAR
Sastrawan,
Tinggal di Pekanbaru
______________________
Dikutip dari kolom SENI – KRITIK
KOMPAS, MINGGU, 17 November 2013


Mengapa Sastra Indonesia Kurang Mendunia? Mengapa Sastra Indonesia Kurang Mendunia? Reviewed by Pandai Cendekia on 11:10 AM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.