Oleh Muhidin M. Dahlan

Berontak dan Khianat
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “berontak” pada mulanya adalah
sikap meronta, membangkang, usaha melepaskan diri. Barulah di turunan kedua disebutkan
bahwa berontak adalah usaha kelompok
kaum yang melawan kekuasaan yang sah. Kamus memberi contoh bahwa sebuah kaum
memberontak karena tak diperlakukan secara adil. Ya, adil adalah kata kunci. Namun,
dalam kamus yang sama, terutama pada baris-baris bawah, makna “berontak” makin
buruk, yakni duroko! Makna terakhir
itu mendekatkan “berontak” dengan kata hina “khianat”, yakni tidak setia dan
tipu daya. Penisbahan kata secara bergantian, “berontak” dan “khianat”, itulah
yang kita temukan pada satu kaum yang tiga kali membikin geger dalam sejarah.
Pemberontakan PKI 26 November
1926 adalah pemberontakan yang berlangsung secara serentak di Batavia,
Tangerang, Pekalongan, Kediri, dan Sawahlunto yang berhasil disapu pemerintah kolonial
dalam waktu tiga hari. Kamp Boven Digul pun tercipta untuk mengubur magma
pembangkangan kaum komunis itu. Oleh PKI generasi kedua pimpinan D.N. Aidit,
peristiwa 26 November dijadikan tonggak penting heroisme sebuah pemberontakan. Aidit
dalam sekuen waktu saat memperingati itu sebagai “pemberontakan rakjat”. Tapi,
berbeda dengan peristiwa 18 September 1948 di Madiun yang dalam pleidoi
PKI-Aidit disebut sebagai “peristiwa” karena provokasi Hatta-Sukiman-Natsir.
PKI menolak disebut mengadakan pemberontakan karena mereka sesungguhnya dijebak
dan melawan seadanya ketika serdadu-serdadu KNIL pimpinan Nasution menyerbu.
Namun, dalam buku-buku sejarah
kemudian dua peristiwa dalam masa yang berbeda itu diberi cap yang sama, yakni
pemberontakan. Makna pemberontakan di sini bukan seperti yang dipahami PKI
sebagai sikap meronta, membangkang, melainkan sebuah persekongkolan melakukan
tindakan jahat!
Menjadi rumit kemudian ketika
rezim militer Soeharto memberi sebutan pada 1 Oktober 1965. Akhirnya, kata “pemberontakan”
bersulih menjadi “Pengkhianatan”. PKI dianggap melakukan tindakan seperti
gerombolan malam yang melakukan tipu daya dan pembohongan terhadap pemerintah
yang sah.
Pemberontak dan Pahlawan
Makna “berontak” dan “khianat” yang
dipahami 11-12 itulah yang kita warisi hingga kini. Konsekuensi dari pelabelan “pemberontak”
itu adalah pembatasan dan pengucilan secara social dan politik. Mereka yang
dicap “pemberontak”muskil mendapatkan anugerah “pahlawan” yang diberikan saban
November. Selain domain militer yang lebih dominan dalam penentuan siapa
pahlawan dan tidak, memori masyarakat atas busuknya makna “berontak” masih kuat
mengakar. Soekarno memang pernah “merivisi” cara pandang rezimnya terhadap
posisi kaum yang dicap pemberontak dengan memberikan gelar pahlawan kepada
kedua tokoh komunis, Tan Malaka dan Alimin. Namun, ketika Orde Baru naik ke
tampuk kekuasaan, nyaris tertutup pintu bagi kaum komunis untuk mendapatkan
gelar kepahlawanan.
Ada memang secercah harapan
ketika pentolan-pentolan Masyumi yang dicap sebagai pemberontak karena terlibat
dalam PRRI/Permesta satu persatu diberi gelar pahlawan. Namun, diperlukan tiga generasi
berganti hingga akhirnya M. Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara diberi gelar
pahlawan nasional, masing-masing pada 2008 dan 2011. Namu, tidak demikian
patriot-patriot bangsa yang pandangan politiknya berafiliasi dengan Partai
Komunis Indonesia; walaupun mereka berjuang habis-habisan sekitar tahun 1920-an
dalam mengorganisasi pembangkangan atas pemerintah Hindia Belanda dan ikut
mengobarkan revolusi pada 1945 hingga 1949. Mereka tetap memundaki kutukan itu.
Bukan hanya kutukan tersebut disandang oleh nama mereka, tapi semua keturunan
mereka diuber-uber hingga kini. (*)
Penulis Trilogi Lekra
Tak Pernah Membakar
Buku dan kerani di
@warungarsip
______________________
Dikutip dari kolom RUANG PUTIH
Jawa Pos, MINGGU, 1 Desember 2013
Pemberontakan (Tak) Selalu Salah
Reviewed by Pandai Cendekia
on
6:14 PM
Rating:

No comments: