Oleh Bre
Redana
Meski
namanya Architecture Triennale yang berarti acara tiga tahunan arsitektur, tak
ada satu pun pembicara membaca teknis bengunan. Berlangsug di Oslo, Norwegia,
pekan lalu, sejumlah pembicara mendasarkan pandanganya mengenai dunia
arsitektur dari para pemikir sosial dan ekonomi serta vokabulari-vokabulari
lain. Arsitek Nanne de Ru membuka paparanya dengan pertanyaan: adakah kemewahan
sanggup menyelamatkan dunia? Jawabnya tidak. Dia mendasarkan uraiannya pada
buku klasik karya Thorstein Veblen, The
Theory of the Leisure Class. Ia kritik konsumsi kalangan atas, yang pada
akhirnya menggerus dimensi etis dunia arsitektur dan tata ruang.
Pembicara
lain, tokoh yang cukup dikenal di dunia arsitektur sekaligus pemikir urban,
Alfredo Brillembourg, dengan tegas menyatakan bahwa arsitektur bukanlah tentang
bangunan, melainkan manusia sebagai subyek. Kalau hendak dibicarakan adalah
zona nyaman (comfort zone) seperti
tema seminar itu, maka zona nyaman adalah persoalan berbagi. Di sini dia kritik
kapitalisme global, sebagai ekonom Joseph Stiglitz memperlihatkan ketimpangan
dunia lewat bukunya yang terkenal, Globalization
and Its Discontents. Estetika memang bagian dari arsitektur, tetapi selain
estetik terdapat persoalan etik. Para arsitek perlu memiliki vokabulari lain di
luar teknis arsitektur. Vokabulari apa? Apa saja. Soalnya seperti menjadi
kesepakatan hampir seluruh pembicara, arsitektur sebenarnya bukan melulu
persoalan bangunan, melainkan persoalan manusia.
***
Arsitektur
dan tata ruang kota jelas menjadi cermin ketidak-adilan sekarang. Kota sebagai
ruang berbagi pada umumnya terbangun atas kekuasaan modal, yang kemudian
mengobrak-abrik kemungkinan keberlangsungan hidup, atau bisa disebut sebagai
“sustainability”. Ketika keseimbangan alam goyah, goyah pula keseimbangan
manusia. Itulah sebabnya, orang-orang sering mengenang, tentang kota-kota di
masa lalu. Kenangan, sebagai bagian dari nostalgia, memang bakal memunculkan
yang indah- indah. Hanya saja, kota kita di masa lalu, barangkali lebih
menyenangkan dibanding sekarang.
Pada
zaman pemilihan kepala daerah ataupun wali kota dilakukan secara langsung
seperti sekarang, para calon umumnya rajin mengunjungi orang kebanyakan,
istilahnya untuk “menjaring aspirasi”. Wali kota Bogor terpilih, Bima Arya,
menjelang pemilihan beberapa pekan lalu, sempat mengunjungi rumah perguruan
Persatuan Gerak Badan Bangau Putih, Bogor. Bersama Guru Besar Gunawan Raharja
dan beberapa murid perguruan, ia mengobrol sampai lewat tengah malam. Karena
waktu itu masih dalam masa hampir semua calon ingin mengemukakan programnya
jika terpilih, Bima juga menguraikan beberapa pokok pikiran mengenai
kemungkinan untuk memperbaiki kota ini. Dibesarkan di Bogor, ia sempat
mengenang keindahan Bogor di masa lalu. Dalam buku yang ia bagi malam itu,
diceritakan antara lain Bogor semasa ia remaja. Bogor masih dingin, sering
berkabut, sungai-sungai bersih, kalau petang banyak kelelawar di Kebon Raya. Menyenangkan
membaca kenangan Bima Arya. Seandainya kami tanya, program apa sebaiknya yang
bisa dilakukan, sebagai awam barangkali kami ingin menjawab: bagaimana kalau
kota dibikin menyenangkan seperti kota dalam kenangan kita?
Kota
adalah sebuah state of mind alias
sesuatu dalam pikiran kita. Tata ruang dan arsitektur bukanlah soal bangunan,
melainkan soal manusia. Tentu saja, pada era yang disebut era demokrasi ini
orang bisa bicara berbeda-beda, bahkan sampai ada yang merasa berhak memaksakan
kehendak – seamburadul apa pun kehendak tersebut. Itulah tantangan para
pemimpin zaman sekarang. Bagi pemimpin yang ingin otentik kelihatanya di zaman
ini yang diperlukan bukanlah common
ground atau landasan bersama. Yang tak kalah dibutuhkan kemungkinan adalah
sesuatu yang diambang hilang dari bangsa ini, yakni common sense alias nalar sehat.
_________________
CATATAN MINGGU
KOMPAS, MINGGU, 29 SEPTEMBER 2013
Tentang Manusia
Reviewed by Pandai Cendekia
on
10:18 AM
Rating:

No comments: