OLEH BRE REDANA
Saya mengamini apa yang diucapkan
oleh Gabriel Garcia Marquez, pengarang penerima Nobel, bahwa jurnalisme adalah
pekerjaan terbaik di dunia. Setidaknya saya mengalami masa lebih dari 30 tahun
lampau, ketika para editor, meski sebagian tidak lulus kuliah. Tetapi lebih
cemerlang dibandingkan para doktor dan profesor. Modal yang membawa saya bisa
bergabung dengan mereka juga bukan kurikulum kuliah, melainkan pengalaman pers
kampus. Waktu itu pers kampus tidak menulis lomba menyanyi dan komunitas
bersepeda ria, tetapi bagaimana menyubversi penguasa.
Di ruang redaksi yang tidak ada
sekat, banyak asap rokok, gelas sisa kopi di meja, kami wartawan muda belajar
berbagai hal. Produk tulisan dan berita yang muncul setiap pagi adalah hasil
percakapan informal, dilakukan dengan santai kadang disertai debat keras, ada
yang duduk di kursi, di meja, berdiri sembari memegang gelas kopi, dan
lain-lain. Perusahaan surat kabar sebagai pabrik gagasan menjadi produktif
karena semangat egaliter.
Kami tidak kenal waktu. Ngbrol sore hari, setelah bertugas
dilapangan, berpanas-panas dengan mengendarai Vespa. Bisa pula tengah malam,
usai editor membereskan tugas penyuntingan. Diskusi kadang berlarut-larut,
sampai tengah malam, lewat tengah malam, dini hari: dan kami pun tidur di
kantor. Ada yang diatas meja, di kolong meja, atau mes di seberang jalan.
Mereka yang tidak berada dalam atmosfer itu, malas bercakap-cakap soal
jurnalisme melulu, adalah mereka yang mengira diri wartawan, padahal
sebenaranya bukan.
Sebagian besar dari kami selalu
runtang-runtung bersama-sama. Malah juga tinggal bersama-sama di mes di
bilangan Kwintang, Jakarta Pusat. Dari bangun tidur sampai terkantuk-kantuk
hendak jatuh tertidur lagi, percakapan hanya soal jurnalisme. Kami tidak
menyebutnya pekerjaan: ini inklinasi hidup kami,. Bersyukur, bahkan hanya
sekedar mengembangkan inklinasi hidup, kami di bayar. Kehidupan yang guyub
dalam pertemanan dan persabahatan itu menyisakan ruangsangat minim bagi
kehidupan pribadi. Bayak yang telat nikah, padahal kami tidak jelek-jelek amat.
Akurasi berita, kebutuhan atas
perspektif, kehendak untuk ikut memberikan arah perkembangan, dengan sendiri
menumbuhkan keinginan kami untuk memiliki fondasi kebudayaan. Secara otomatis,
membaca menjadi suatu kebutuhan. Di mana pun , para otodidak cenderung lebih
bersungguh-sungguh. Para senior saya adalah orang-orang hebat. JB Kritanto,
Valens Doi, Parakitri, Raymond Toruan—untuk menyebut beberapa nama.
Sepanjang berkarier sebagai wartawan
saya tidak pernah punya tape recorder .
itu gara-gara penekanan pemimpin dan penanggung jawab kami: kalian bukan ember.
Tape recorder mendengarkan tetapi tidak menyimak, memiliki
kemampuan mengulang tetapi tidak berpikir, setia dan akurat tetapi tanpa hati.
Wawancara adalah konfrontasi gagasan, tegas pemimpin.
Maka, kami hanya terbiasa dengan
buku kecil disebut notes. Modal kami menghadapi sumber berita adalah notes,
telinga, dan kesadaran termasuk kesadaran etis. Yang terakhir itu tak bisa
ditawar-tawar. Ketika persoalan kian kompleks, hitam dan putih, sulit
dibedakan, semua di wilayah abu-abu, pada kesadaran etis itulah kami kembali.
Kini, jurnalisme berkembang
sedemikian rupa. Wartawan kian banyak,
hierarki diutamakan. Teknologi komunikasi makin canggih. Banyak yang terus
mempertinggi keterampilan untuk mengusai teknologi. Bagus juga, siapa tahu
nanti mesin dan robot bisa mengatasi inefisiensi.
Pendidikan juga berkembang.
Jurnalisme disebut dengan nama ilmu komunikasi. Saya pernah diminta untuk
memberi ceramah mengenai komunikasi dan industri media. Saya tidak sanggup,
takut menjadi tertawaan. Soalnya saya tidak tahu komunikasi. Yang saya tahu
jurnalisme. Industri media saya juga tidak paham. Apalagi rincian, bagaimana
memuaskan pelanggan,. Yang saya tahu kebenaran, truthfulness, tidak selalu menyenangkan semua orang. Apa peduli
saya ...
_____________________________
Di
kutip dari KOLOM PERSONA—UDAR RASA
KOMPAS,
Minggu, 08 Februari 2015
JURNALISME
Reviewed by Pandai Cendekia
on
11:04 PM
Rating:

No comments: